Selasa, 10 September 2013

Sekolah, 'Aquarium Kotor' Masyarakat Indonesia



Sering terjadi, kita dihebohkan dengan berita kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pihak yang terlibat dalam hal ini bisa guru/dosen terhadap murid/mahasiswa, sesama guru/dosen, sesama murid/mahasiswa atau guru/murid/mahasiswa dengan kelompok masyarakat diluar sekolah. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi juga sangat beragam. Guru menendang, menempeleng atau  memukul muridnya. Perang sesama murid antar kelas dalam satu sekolah atau lain sekolah. Penyerbuan mahasiswa berbeda jurusan dalam satu kampus, atau lain kampus. Perang mahasiswa dengan kelompok tukang ojek, pembajakan bus kota oleh sekelompok murid, dan bentuk kekerasan pendidikan lainnya, rasanya menjadi menu harian dalam pemberitaan media kita.  Parahnya kejadian ini sudah tidak lokalit dan parsial, namun sudah masif dan menasional.
Nah, pihak yang biasanya mendapat porsi pemberitaan besar dalam kasus-kasus kekerasan pendidikan adalah guru. Setiap ada kejadian kekerasan guru kepada muridnya misalnya, maka seakan-akan semua tangan menuding guru sebagai ‘tersangka’. Ini diperdalam analisa dan kritik pengamat pendidikan yang dengan ‘ilmunya’ ikut-ikutan menyudutkan guru. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) getol menyoroti, hingga mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi yang terkadang diluar kewenangannya. Dalam kaidah pendidikan, apapun bentuk kekerasan memang tidak layak mendapat tempat, tidak bisa ditoleransi, dan kita tidak bisa bersikap permisif. Kekerasan harus sirna dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Siswa (juga guru) selain sebagai warga sekolah juga menjadi anggota warga masyarakat. Artinya keduanya mempunyai dua identitas yang berbeda ketika berada di sekolah dan berada di lingkungan masyarakat. Kehidupan di masyarakat luas dengan segala ‘carut-marutnya’ ikut ‘dihirup’ setiap waktu, sepanjang masa oleh siswa dan guru, dan membawanya di lingkungan sekolah. Artinya warga sekolah sebenarnya sudah membawa ‘gen’ masing-masing yang diperoleh dari lingkungannya. Dan parahnya gen itu tidak semuanya adalah gen positif (baik). Bahkan bisa jadi dalam lingkungan masyarakat tertentu gen negatif (jelek) lebih mendominasi.
Siapa yang berperan dalam menyebarkan ‘gen negatif’ ini di dalam lingkungan masyarakat? Nah, disinilah pihak di luar sekolah yang banyak mengambil bagian.
Pertama, media massa. Terutama televisi, layak ‘berinstropeksi’. Bukankah berjibum acara-acara televisi yang menyajikan kekerasan, ketidakjujuran, ketidaksopanan? Televisi kita banyak didominasi acara-acara banal (baca: remeh-temeh), komedi yang kebablasan, sinetron yang mengharu-biru tanpa bisa dicerna akal sehat, atau sinetron sejarah yang dibuat-buat dan dipanjang-panjangkan. Lebih gila lagi, begitu banyak acara maaf ‘gedibal’ ini dibuat dengan latar belakang dunia pendidikan. Lokasi syuting di sekolah, para pemerannya pelajar, namun tindakannya tidak mencerminkan seorang pelajar sama sekali, selain hanya rebutan pacar, hobi menyontek, menciderai lawan, memfitnah dan lain-lain. Tontonan itu meresap di dalam ingatan anak-anak kita secara perlahan-lahan, terus-menerus, masif  dan dalam jangka waktu yang lama, mengingat bagi sebagian besar anak kita televisi adalah ‘tuhan’ yang lain. Inilah potensi ‘gen negatif’ yang dibawa anak ke sekolah.
Kedua orang tua. Sebagian besar waktu yang dimiliki anak-anak sekolah kita adalah dirumah. Sudahkan para orang tua menciptakan ‘surga’ bagi anak-anaknya?, sehingga anak merasa hidup dalam suasana kenyamanan batin yang dapat menciptakan gen positif? Ataukah sebaliknya, para orang tua terlalu egois, cuek sehingga anak-anak kita merasa di dalam neraka? Sudahkah orang tua memberikan keteladanan? Ataukah justru mempertontonkan ‘sinetron tragedi’ di depan anak-anak kita? Saatnya para orang tua berinstropeksi diri, jika tidak mau dikatakan menjangkiti ‘gen negatif ‘ kepada anak-anak kita.
Ketiga adalah masyarakat. Ditinjau dari sisi sejarah, rakyat Indonesia memang ‘ditakdirkan’ keras dari sononya. Bukankah perebutan kekuasaan raja-raja terdahulu selalu dihiasi dengan kekerasan, pertumpahan darah? Masih ingat kisah Ken Arok, yang hingga tujuh turunan masih berbalas dendam? Bukankah hampir setiap pergantian kekuasaan di negeri ini selalu ditumpahi darah rakyatnya? Bila kita tarik ke era kini, tidak sedikit peristiwa (bila tidak mau dikatakan banyak) pilkada-pilkada di tanah air selalu berakhir ricuh, saling serang antar pendukung. Skala yang lebih kecil yang menunjuk hidung kita sebagai bangsa yang keras adalah banyaknya pertandingan sepakbola yang berakhir ricuh, baik antar suporter, sesama pemain atau pemain dengan pengadil.  Rentetan kejadian kekerasan itu, begitu mudah dan murah dinikmati anak-anak kita. Anak-anak pasti akan ‘menerjemahkan’ rentetan kekerasan itu dalam bahasa mereka, dan selanjutnya pasti akan ‘mengimplementasikan’ dalam bentuk lain.
Jadi, sebenarnya embrio kekerasan ini sudah terpendam dalam diri warga sekolah (termasuk guru) dalam stadium yang tinggi. Ini menjadi energi negatif potensial, yang sewaktu-waktu meledak dengan hanya sedikit  triger (pemicu). Ini adalah masalah kita semua, bukan hanya masalah masyarakat pendidikan. Lebih luasnya ini adalah penyakit masyarakat seluruh Indonesia. Permasalahan menjadi nampak ‘menggunung’ lantaran masalah besar ini di bawa dalam sebuah wadah kecil yang bernama masyarakat pendidikan (sekolah). Ibarat akuarium, jelas akan nampak sangat kotor bila diisi air dan ikan dari kolam kotor bukan? Air dan ikan dikolam saja sudah nampak kotor, apalagi ini dipajang diakurium yang bening dan sempit.
Sudah menjadi kebiasaan latah di masyarakat kita, apabila ada kekerasan dalam dunia pendidikan  maka akan segera ramai-ramai menghujat guru, sebagai pihak yang patut ‘persalahkan’. Ini bisa dimaklumi, gurulah pihak yang paling ‘tampak’. Di dalam aquarium pendidikan yang sempit dan bening,  guru mudah dicari, mudah dilihat, dan tentu saja mudah dipersalahkan.
Terlepas memang tugas utama guru adalah mengajar, mendidik dan memberikan teladan, namun guru juga manusia. Bisa jadi guru juga ‘ikan dari kolam kotor’, atau berada dalam lingkungan ‘ikan-ikan kotor dari sononya. Tidak sepantasnya setiap ada kejadian kekerasan dalam dunia pendidikan gurulah satu-satunya ‘tersangka’. Bukanlah ini semua adalah dosa jamaah kita? Orang tua, media massa dan masyarakat sebenarnya ikut andil menyemai bibit-bibit kekerasan ini? Tanpa berpretensi membela profesi guru, sudah selayaknya seluruh elemen negeri ini berinstropeksi untuk selalu memperbaiki keadaan. Bukanlah kalau air dan ikan dikolam bersih, ditaruh di aquarium pun akan tampak bening? Sehingga judul tulisan ini menjadi Sekolah, ‘Aquarium Bening’ Masyarakat Indonesia. Semoga!!

Minggu, 08 September 2013

Mulut, Jidat dan Kepala Jokowi

(Sebelum menulis ini, penulis sudah meminta maaf kepada Jokowi, dalam hati)
Ketika anda melihat foto atau menonton video Jokowi, sebenarnya apa yang membuat orang itu begitu populer? Walau baru beberapa bulan menjadi gubernur DKI Jakarta, popularitasnya jauh mengungguli tokoh-tokoh lain. Tampang Jokowi selalu mendominasi pemberitaan, baik cetak maupun online. Gantengkah dia? Walaupun belum ada survei, tapi saya yakin tak banyak yang sanggup mengatakan Jokowi ganteng. Coba lihat maaf ‘mulutnya’. Pada umumnya bentuk mulut yang bagus adalah yang tidak terlalu lebar, bahkan cenderung mungil. Bagaimana bentuk mulut Jokowi? Alih-alih mungil, mulutnya malah terlalu lebar untuk ukuran rata-rata orang Indonesia. Mulut yang lebar menyebabkan semua isinya, gusi dan gigi, akan tampak seluruhnya ketika si empunya tertawa. Kalau Jokowi pas ketawa, amit-amit gak ada daya tariknya sama sekali bahkan cenderung maaf ‘nggilani’. Mohon maaf bagi yang sedang hamil, jangan sekali-kali menertawai tampilan Jokowi, bisa kualat nular ke calon cabang bayi.
Alihkan perhatian Anda pada maaf ‘jidatnya’. Jidat Jokowi terlalu menonjol dan terlalu lebar. Kalau dalam istilah Jawa disebut ‘nonong’. Jidat nonong dalam rumus orang ganteng, sangat diharamkan. Jidat nonong menjadikan bagian wajah yang lain, seperti pipi dan hidung tampak tenggelam, kalah menonjol dengan jidatnya. Padahal hidung adalah pusat perhatian lawan saat berhadapan. Hidung pula yang menjadi salah satu barometer orang disebut ganteng atau jelek.
Dan berikutnya adalah kepala, terutama bagian belakang. Secara anatomis, kepala Jokowi menonjol kebelakang. Kalau dalam istilah Jawa disebut ‘ngganyot’. Ukuran kepalanya juga relatif lebih besar dari ukuran rata-rata orang Indonesia. Bentuk kepala yang cenderung besar dan ngganyot sama sekali tidak enak dipandang, apalagi dengan badannya yang kerempeng menjadi terkesan berat atas daripada bawah. Tak heran, cara jalan Jokowi seperti melayang-layang.
Dari analisis mulut, jidat dan kepala tadi dapat disimpulkan bahwa Jokowi adalah pria bermulut lebar, berjidat nonong dan berkepala ngganyot. Samber geledek… siapa berani memasukkan dalam kategori ganteng?
Sekarang saatnya berpikir serius. Trus kenapa Jokowi begitu populer, digandrungi di mana-mana? Digadang-gadang banyak orang sebagai seorang calon presiden RI 2014. Kenapa pollingnya selalu mengalahkan wajah-wajah lama yang relatif ganteng dan cantik? Jawabnya adalah karena MUAK. Ya, masyarakat di Indonesia sudah muak dengan pemimpin yang ganteng tetapi serba penuh pencitraan (kamuflase). Muak dengan pemimpin yang korup, atau membiarkan korupsi merajalela.
Pemimpin yang gamang, ragu-ragu dan tidak konsisten. Kini masyarakat begitu mendambakan pemimpin yang sederhana (baca: lugu), tanpa basa-basi, tanpa kompromi dan penuh percaya diri. Dan impian banyak orang itu ngejawantah pada diri seorang Jokowi. Ya, pria jelek bermulut lebar, berjidat nonong, dan berkepala ngganyot itu begitu mempesona masyarakat Indonesia. Tanpa mendahului kehendak Yang Di Atas, rasanya sulit membendung Jokowi menuju RI 1. Kita tunggu!

Jumat, 30 Agustus 2013

Pengalaman Seorang Guru TIK Menjadi Guru Prakarya, Sebuah Catatan.



Hari ini Jumat, 30 Agustus 2013. Inilah untuk pertama kalinya saya akan mengajar mata pelajaran Prakarya. Saya sendiri selama ini berdedikasi sebagai seorang guru TIK. Berlatar belakang pendidikan Magister Teknologi Pendidikan, saya bersertifikat pendidik TIK. Sudah hampir 8 tahun saya menjadi guru TIK. Selang satu tahun setelah sertifikat pendidkan TIK aku pegang, munculah prahara kurikulum 2013 yang menghapus mapel TIK. Sempat menikmati manisnya TPP, kini saya dihadapkan pada ketidakjelasan masa depan sebagai seorang guru TIK.
Hasil browsing dan sharing  kesana kemari di dunia maya, munculah salah satu wacana bahwa guru TIK akan mengampu Prakarya di K-2013. Untuk sesaat, rasanya jantung ini berhenti berdenyut, darah ini seperti membeku. Pada awalnya sulit sekali wacana itu saya terima. Di pemikiran saya banyak hal yang tidak nyambung jika seorang guru TIK harus mengampu Prakarya. Dari sisi keilmuan, filosofis mapel TIK jelas berbeda dengan Prakarya, kontennya jelas 180 derajat berbeda. Secara formal, jelas latar belakang pendidikan saya juga tidak match dengan Prakarya. Pragmatisnya sertifikat pendidik TIK yang saya miliki, jelas tidak linear dengan prakarya. Mengingat dalam aplikasi dapodik, ketidak-linearan sertifikat pendidik dan mapel yang diampu, menjadi handicap untuk keluarnya SKTP yang menjadi dasar cairnya TPP. Berarti tunjangan yang saya terima sebesar dua juta tujuh ratus dipotong pajak sebulan itu terancam mandek.
Pikiran terus berkecamuk, membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya menjagi guru Prakarya. Salah satu ketakutan saya adalah bisakah saya profesional? Hari-hari terus saya diskusikan dengan keluarga. Istri saya yang juga seorang guru selalu sangat peduli dengan masalah yang saya hadapi, dia banyak sekali memberi masukan-masukan, yang melegakan saya.  Saran-saran yang khas seorang perempuan, kombinasi antara ketelitian dan kehati-hatian. Sikap seperti itulah yang tidak saya miliki, juga tidak dimiliki sebagian besar yang terlahir sebagai lelaki.  Yang sulit saya lupakan adalah kedua anak saya, selalu mengikuti tema ini dalam diskusi-diskusi keluarga. Seolah-olah mereka ikut merasakan kegundahan hati saya. Saat itu saya benar-benar merasakan, mereka, istri dan anak-anak saya sangat peduli dengan saya. Walau kadang setengah berolok-olok, anak ke-2 saya Luluh, yang masih duduk di kelas 3 SD sering mengejek saya dari seorang guru TIK yang jos gandhos, menjadi guru Prakarya yang cemen temen. Saya tidak tahu darimana istilah ini dia peroleh. Dari suasana inilah akhirnya dengan berat hari saya bersiap diri, bismillah apapun yang akan terjadi maka terjadilah, termasuk seandainya harus menjadi guru Prakarya. Kenyataan itu akhirnya datang juga, tahun ini saya mendapat tugas mengajar Prakarya di samping TIK untuk kelas tiga.
Jadwal pelajaran di sekolahku yang terpampang di dinding belakang ruang guru, sejak kemarin saya pelototi satu-persatu. Saya cari-cari dimanakah saya mengajar Prakarya. Akhirnya kutemukan saya harus mengampu 4 jam pelajaran Prakarya di kelas VII.G dan VII.H. Sehari sebelumnya hari itu tiba, saya sempatkan buka-buka file Silabus Prakarya dan Buku Prakarya. Dari membaca buku sekilas ini, ada tiga hal yang saya garis bawahi. Pertama mapel prakarya mengajarkan 4 kompetensi yaitu: kerajinan, ketrampilan, pengolahan dan rekayasa. Sedangkan yang kedua adalah siswa harus menghasilkan produk, dan ketiga adalah penilaian karya siswa tidak hanya didasarkan pada produk jadi yang dihasilkan, tetapi juga proses bagaimana siswa memproduksinya.
Pukul 7.40 bel pergantian jam berbunyi, sesaat setelah itu kulangkahkan kakiku keluar ruang guru menuju kelas VII.H yang berada di pojok tenggara sekolah. Tidak lupa aku bawa spidol, buku Prakarya dan laptop putih kesayanganku. Setelah perkenalan dengan anak-anak, pelajaran aku mulai dengan pemaparan konsep awal mata pelajaran baru ini. Tidak lupa aku ceritakan juga ke anak-anak bahwa ini adalah untuk pertama kali saya mengajar Prakarya, setelah 8 tahun menjadi guru TIK. Tentu saja tanpa bermaksud cengeng di depan anak-anak. Seorang guru adalah guru, harus bisa menjalani peran apa saja yang diembannya.  Kecamuk dalam hati, perang batin yang terjadi tak boleh sedikitpun tertangkap oleh anak-anak kita. Itulah jati diri seorang guru.
Setelah aku paparkan konsep prakarya kelihatannya mereka paham, apa dan bagaimana prakarya itu. Kesimpulan itu aku peroleh setelah menyaksikan wajah-wajah lugu dengan semangat dan antusias mengikuti pelajaran. Melihat mereka, rasanya tidak tega kalau aku tidak memberikan kejutan kepada mereka. Pada kesempatan itu saya janjikan kepada mereka, akan saya buatkan ruang pamer atau ruang pajang bagi karya-karya mereka. Tidak lupa saya janjikan reward bagi karya terbaik. Dan yang membuat mereka heran  adalah ketika saya cerita bahwa untuk membuatkan ruang pajang, saya tidak memerlukan almari, etalase, rak atau sejenisnya. Kulihat wajah mereka pada mlongo penasaran dengan yang saya ucapkan. Belum habis keterkejutan mereka, saya sambung cerita tadi bahwa saya hanya membutuhkan satu kamera, bisa memakai handphone. Perkataan saya membuat mereka semakin bingung.
Barulah mereka sadar setelah saya cerita bahwa untuk memajang karya-karyanya akan saya buatkan satu blog di internet, yang akan memajang foto-foto karya mereka. Dasar guru TIK, eh Prakarya. Semoga ini bukan kejutan yang terakhir. Ini adalah kejutan pertama dan akan disusul oleh kejutan-kejutan yang lain. Dalam hatiku berkata, ya Allah kuatkan hatiku untuk menjadi guru Prakarya, banyakkanlah ide-ide segarku untuk kebaikan mereka. Anak-anak berwajah polos, berhati bersih yang haus akan ilmu. Semoga..! (mr.poor12)

Senin, 29 Juli 2013

Kemanakah guru TIK berlabuh?

Setelah dihapusnya mapel TIK dalam K-2013, inilah 3 wacana bagi guru2 eks TIK:
1. Dikembalikan ke basic pendidikannya. Kelebihannya: antara bidang tugas dan latar belakang pendidikan linier, kenaikan pangkat lancar. Kekurangannya: harus menempuh sertifikasi ulang (PPG, PLPG, KKT) dan kemungkinan harus berebut jam pelajaran dengan guru mapel sejenis.
2. Dialihkan sbg guru mapel lain (prakarya). Kelebihannya : jml jam prakarya sama persis denga jml jam TIK di KTSP, sehingga tidak mengubah komposisi jam dan guru, kekurangannya : filosofi prakarya dan TIK jauh berbeda, shingga sulit bisa profesional. ada anggapan grade guru TIK akan turun tajam jika mengajar prakarya. Kenaikan pangkat juga bisa terhambat karena bidang tugas dan latar belakang pendidikan tidak linier.
3. Dimutasi ke SMK TI/TKJ. Kelebihannya: tidak menempuh sertifikasi ulang. kekurangaanya: jumlah jam SMK TI/TKJ sangat sedikit dibanding jumlah guru TIK, sehingga tidak semua eks guru TIK bakal tercover di SMK serta bagi guru TIK yg ijazahnya tidak TI, kenaikan pangkat bisa terhambat.
4. Dibentuk wadah Pusat Teknologi Pendidikan di sekolah yang bertugas membantu guru dalam menyiapkan pembelajaran berbasis TI. Kelebihannya : grade guru TIK meningkat dari ngajar murid menjadi ngajar guru, sejalan dengan keharusan semua guru harus menguasai TI guna menjalankan K-2013, penyebaran guru TIK sudah merata di tiap sekolah, sehingga tidak terjadi distribusi antar sekolah. Kelemahannya: belum ada regulasinya, dasar hukum pembayaran TPP belum ada, tidak semua guru TIK siap mental untuk mengajari orang dewasa.
Kita tunggu aja..??

Kamis, 20 Juni 2013

Evaluasi Pembelajaran Beserta Contoh Analisis Butir Soal


Contoh Analisis Butir Soal (DOWNLOAD DI SINI)  


Hakekat Evaluasi Pembelajaran

Penilaian atau evaluasi merupakan bagian integral dalam keseluruhan proses belajar mengajar. Penilaian harus dipandang sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan proses dan hasil pembelajaran, bukan hanya sebagai cara untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi tidak cukup lagi hanya menagih daya ingat tetapi harus juga menggali bagaimana siswa berproses dalam kegiatan belalajar-mengajar di kelas

Sebagai subsistem dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan penilaian harus mampu memberikan informasi yang membantu guru meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu siswa mencapai perkembangan pendidikan secara optimal. Hal ini membawa implikasi bahwa kegiatan penilaian harus dipandang dan digunakan sebagai cara atau teknik pendidikan, bukan hanya sebagai cara untuk menilai keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran.

Prinsip penilaian yang baik akan mendorong sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sistem penilaian yang digunakan di setiap lembaga pendidikan harus mampu memberikan informasi yang akurat, mendorong peserta didik belajar, memotivasi tenaga pendidik mengajar, meningkatkan kinerja lembaga dan meningkatkan kualitas pendidikan, sebagaimana dikemukakan oleh Linn & Gronlund (2000) bahwa pengukuran dan penilaian mempunyai peranan yang sangat penting dalam program pembelajaran di sekolah, menyediakan informasi yang dapat dipergunakan dalam berbagai macam keputusan pendidikan.

Evaluasi adalah salah satu tugas guru dalam melaksanakan pembelajaran. Dari evaluasi inilah seorang guru dapat mengukur kemajuan dan keberhasilan pembelajaran yang sudah dilakukan.  



Prinsip-prinsip Evaluasi Pembelajaran

Dalam melakukan evaluasi harus menganut pada prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut :          

1)    Validitas

Validitas adalah kesahihan, berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 194) kesahihan diterjemahkan pula sebagai kelayakan interpretasi terhadap hasil dari suatu instrumen evaluasi atau tes, dan tidak terhadap instrumen itu sendiri. Kesahihan juga dapat dikatakan lebih menekankan pada hasil/perolehan evaluasi, bukan pada kegiatan evaluasinya.

2)    Reliabilitas

Penilaian ini berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliabel, menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 196) merupakan syarat umum yang juga sama pentingnya dengan kesahihan adalah keterandalan evaluasi. Keterandalan evaluasi berhubungan dengan masalah kepercayaan, yakni tingkat kepercayaan bahwa suatu instrumen evaluasi mampu memberikan hasil yang tepat. Hal senada dapat kita peroleh dalam pernyataan Linn & Gronlund (2000 : 96) sebagai berikut : “reliability refers to the obtained with an evaluation instrument and not to the instrumens itselft.” (Reliabilitas menunjuk pada hasil sebuah instrumen evaluasi dan tidak untuk instrumen itu sendiri). Keterandalan menunjuk kepada konsistensi (keajegan) pengukuran yakni bagaimanakah keajegan skor tes atau hasil evaluasi lain yang berasal dari pengukuran yang satu ke pengukuran yang lain. Dengan kata lain, keterandalan dapat diartikan sebagai tingkat kepercayaan keajegan hasil evaluasi yang diperoleh dari suatu instrumen evaluasi. Keterandalan berhubungan dengan kesahihan, karena keterandalan menyediakan keajegan yang memungkinkan terjadinya kesahihan.

3)   Menyeluruh

Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh mencakup seluruh domain yang tertuang dalam setiap kompetensi dasar.

4)    Berkesinambungan

Penilaian dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran pencapaian kompetensi peserta didik dalam kurun waktu tertentu.

5)   Obyektif

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 198) obyektivitas suatu tes menunjukkan kepada tingkat skor kemampuan yang sama (yang dimiliki oleh siswa satu dengan siswa yang lain) memperoleh nilai yang sama dalam mengerjakan tes. Hal ini memberikan pengertian bahwa penilaian yang dilaksanakan secara obyektif berari penilaian harus adil, terencana dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian skor.

6)   Kepraktisan

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 198) menyatakan bahwa dalam memilih tes dan instrumen evaluasi yang lain, kepraktisan merupakan syarat yang tidak dapat diabaikan. Kepraktisan evaluasi terutama dipertimbangkan pada saat memilih tes atau instrumen lain yang dipublikasikan oleh suatu lembaga. Kepraktisan evaluasi dapat diartikan sebagai kemudahan yanga ada pada instrumen evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi/ memperoleh hasil, maupun kemudahan dalam menyimpannya.


Rabu, 19 Juni 2013

Buku Sekolah Elektronik (BSE) untuk SD Kelas I



KELAS
MATA PELAJARAN / JUDUL
PENGARANG

I
Bahasa Indonesia
H Suyatno
Ismail Kusmayadi
Muhammad Jaruki
Umri Nuraini
IPA
Heri Sulistyanto
S Rositawaty
Download
Sholehudin
Sri Purwati
IPS
Endang Hendayani
Indrastuti
Inoki Wasis Jatmiko
Matematika
Djaelani
Kismiantini
Purnomo Sidi
PKN
Setiati W
Suliasih
Tijan