Selasa, 10 September 2013

Sekolah, 'Aquarium Kotor' Masyarakat Indonesia



Sering terjadi, kita dihebohkan dengan berita kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pihak yang terlibat dalam hal ini bisa guru/dosen terhadap murid/mahasiswa, sesama guru/dosen, sesama murid/mahasiswa atau guru/murid/mahasiswa dengan kelompok masyarakat diluar sekolah. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi juga sangat beragam. Guru menendang, menempeleng atau  memukul muridnya. Perang sesama murid antar kelas dalam satu sekolah atau lain sekolah. Penyerbuan mahasiswa berbeda jurusan dalam satu kampus, atau lain kampus. Perang mahasiswa dengan kelompok tukang ojek, pembajakan bus kota oleh sekelompok murid, dan bentuk kekerasan pendidikan lainnya, rasanya menjadi menu harian dalam pemberitaan media kita.  Parahnya kejadian ini sudah tidak lokalit dan parsial, namun sudah masif dan menasional.
Nah, pihak yang biasanya mendapat porsi pemberitaan besar dalam kasus-kasus kekerasan pendidikan adalah guru. Setiap ada kejadian kekerasan guru kepada muridnya misalnya, maka seakan-akan semua tangan menuding guru sebagai ‘tersangka’. Ini diperdalam analisa dan kritik pengamat pendidikan yang dengan ‘ilmunya’ ikut-ikutan menyudutkan guru. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) getol menyoroti, hingga mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi yang terkadang diluar kewenangannya. Dalam kaidah pendidikan, apapun bentuk kekerasan memang tidak layak mendapat tempat, tidak bisa ditoleransi, dan kita tidak bisa bersikap permisif. Kekerasan harus sirna dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Siswa (juga guru) selain sebagai warga sekolah juga menjadi anggota warga masyarakat. Artinya keduanya mempunyai dua identitas yang berbeda ketika berada di sekolah dan berada di lingkungan masyarakat. Kehidupan di masyarakat luas dengan segala ‘carut-marutnya’ ikut ‘dihirup’ setiap waktu, sepanjang masa oleh siswa dan guru, dan membawanya di lingkungan sekolah. Artinya warga sekolah sebenarnya sudah membawa ‘gen’ masing-masing yang diperoleh dari lingkungannya. Dan parahnya gen itu tidak semuanya adalah gen positif (baik). Bahkan bisa jadi dalam lingkungan masyarakat tertentu gen negatif (jelek) lebih mendominasi.
Siapa yang berperan dalam menyebarkan ‘gen negatif’ ini di dalam lingkungan masyarakat? Nah, disinilah pihak di luar sekolah yang banyak mengambil bagian.
Pertama, media massa. Terutama televisi, layak ‘berinstropeksi’. Bukankah berjibum acara-acara televisi yang menyajikan kekerasan, ketidakjujuran, ketidaksopanan? Televisi kita banyak didominasi acara-acara banal (baca: remeh-temeh), komedi yang kebablasan, sinetron yang mengharu-biru tanpa bisa dicerna akal sehat, atau sinetron sejarah yang dibuat-buat dan dipanjang-panjangkan. Lebih gila lagi, begitu banyak acara maaf ‘gedibal’ ini dibuat dengan latar belakang dunia pendidikan. Lokasi syuting di sekolah, para pemerannya pelajar, namun tindakannya tidak mencerminkan seorang pelajar sama sekali, selain hanya rebutan pacar, hobi menyontek, menciderai lawan, memfitnah dan lain-lain. Tontonan itu meresap di dalam ingatan anak-anak kita secara perlahan-lahan, terus-menerus, masif  dan dalam jangka waktu yang lama, mengingat bagi sebagian besar anak kita televisi adalah ‘tuhan’ yang lain. Inilah potensi ‘gen negatif’ yang dibawa anak ke sekolah.
Kedua orang tua. Sebagian besar waktu yang dimiliki anak-anak sekolah kita adalah dirumah. Sudahkan para orang tua menciptakan ‘surga’ bagi anak-anaknya?, sehingga anak merasa hidup dalam suasana kenyamanan batin yang dapat menciptakan gen positif? Ataukah sebaliknya, para orang tua terlalu egois, cuek sehingga anak-anak kita merasa di dalam neraka? Sudahkah orang tua memberikan keteladanan? Ataukah justru mempertontonkan ‘sinetron tragedi’ di depan anak-anak kita? Saatnya para orang tua berinstropeksi diri, jika tidak mau dikatakan menjangkiti ‘gen negatif ‘ kepada anak-anak kita.
Ketiga adalah masyarakat. Ditinjau dari sisi sejarah, rakyat Indonesia memang ‘ditakdirkan’ keras dari sononya. Bukankah perebutan kekuasaan raja-raja terdahulu selalu dihiasi dengan kekerasan, pertumpahan darah? Masih ingat kisah Ken Arok, yang hingga tujuh turunan masih berbalas dendam? Bukankah hampir setiap pergantian kekuasaan di negeri ini selalu ditumpahi darah rakyatnya? Bila kita tarik ke era kini, tidak sedikit peristiwa (bila tidak mau dikatakan banyak) pilkada-pilkada di tanah air selalu berakhir ricuh, saling serang antar pendukung. Skala yang lebih kecil yang menunjuk hidung kita sebagai bangsa yang keras adalah banyaknya pertandingan sepakbola yang berakhir ricuh, baik antar suporter, sesama pemain atau pemain dengan pengadil.  Rentetan kejadian kekerasan itu, begitu mudah dan murah dinikmati anak-anak kita. Anak-anak pasti akan ‘menerjemahkan’ rentetan kekerasan itu dalam bahasa mereka, dan selanjutnya pasti akan ‘mengimplementasikan’ dalam bentuk lain.
Jadi, sebenarnya embrio kekerasan ini sudah terpendam dalam diri warga sekolah (termasuk guru) dalam stadium yang tinggi. Ini menjadi energi negatif potensial, yang sewaktu-waktu meledak dengan hanya sedikit  triger (pemicu). Ini adalah masalah kita semua, bukan hanya masalah masyarakat pendidikan. Lebih luasnya ini adalah penyakit masyarakat seluruh Indonesia. Permasalahan menjadi nampak ‘menggunung’ lantaran masalah besar ini di bawa dalam sebuah wadah kecil yang bernama masyarakat pendidikan (sekolah). Ibarat akuarium, jelas akan nampak sangat kotor bila diisi air dan ikan dari kolam kotor bukan? Air dan ikan dikolam saja sudah nampak kotor, apalagi ini dipajang diakurium yang bening dan sempit.
Sudah menjadi kebiasaan latah di masyarakat kita, apabila ada kekerasan dalam dunia pendidikan  maka akan segera ramai-ramai menghujat guru, sebagai pihak yang patut ‘persalahkan’. Ini bisa dimaklumi, gurulah pihak yang paling ‘tampak’. Di dalam aquarium pendidikan yang sempit dan bening,  guru mudah dicari, mudah dilihat, dan tentu saja mudah dipersalahkan.
Terlepas memang tugas utama guru adalah mengajar, mendidik dan memberikan teladan, namun guru juga manusia. Bisa jadi guru juga ‘ikan dari kolam kotor’, atau berada dalam lingkungan ‘ikan-ikan kotor dari sononya. Tidak sepantasnya setiap ada kejadian kekerasan dalam dunia pendidikan gurulah satu-satunya ‘tersangka’. Bukanlah ini semua adalah dosa jamaah kita? Orang tua, media massa dan masyarakat sebenarnya ikut andil menyemai bibit-bibit kekerasan ini? Tanpa berpretensi membela profesi guru, sudah selayaknya seluruh elemen negeri ini berinstropeksi untuk selalu memperbaiki keadaan. Bukanlah kalau air dan ikan dikolam bersih, ditaruh di aquarium pun akan tampak bening? Sehingga judul tulisan ini menjadi Sekolah, ‘Aquarium Bening’ Masyarakat Indonesia. Semoga!!

Minggu, 08 September 2013

Mulut, Jidat dan Kepala Jokowi

(Sebelum menulis ini, penulis sudah meminta maaf kepada Jokowi, dalam hati)
Ketika anda melihat foto atau menonton video Jokowi, sebenarnya apa yang membuat orang itu begitu populer? Walau baru beberapa bulan menjadi gubernur DKI Jakarta, popularitasnya jauh mengungguli tokoh-tokoh lain. Tampang Jokowi selalu mendominasi pemberitaan, baik cetak maupun online. Gantengkah dia? Walaupun belum ada survei, tapi saya yakin tak banyak yang sanggup mengatakan Jokowi ganteng. Coba lihat maaf ‘mulutnya’. Pada umumnya bentuk mulut yang bagus adalah yang tidak terlalu lebar, bahkan cenderung mungil. Bagaimana bentuk mulut Jokowi? Alih-alih mungil, mulutnya malah terlalu lebar untuk ukuran rata-rata orang Indonesia. Mulut yang lebar menyebabkan semua isinya, gusi dan gigi, akan tampak seluruhnya ketika si empunya tertawa. Kalau Jokowi pas ketawa, amit-amit gak ada daya tariknya sama sekali bahkan cenderung maaf ‘nggilani’. Mohon maaf bagi yang sedang hamil, jangan sekali-kali menertawai tampilan Jokowi, bisa kualat nular ke calon cabang bayi.
Alihkan perhatian Anda pada maaf ‘jidatnya’. Jidat Jokowi terlalu menonjol dan terlalu lebar. Kalau dalam istilah Jawa disebut ‘nonong’. Jidat nonong dalam rumus orang ganteng, sangat diharamkan. Jidat nonong menjadikan bagian wajah yang lain, seperti pipi dan hidung tampak tenggelam, kalah menonjol dengan jidatnya. Padahal hidung adalah pusat perhatian lawan saat berhadapan. Hidung pula yang menjadi salah satu barometer orang disebut ganteng atau jelek.
Dan berikutnya adalah kepala, terutama bagian belakang. Secara anatomis, kepala Jokowi menonjol kebelakang. Kalau dalam istilah Jawa disebut ‘ngganyot’. Ukuran kepalanya juga relatif lebih besar dari ukuran rata-rata orang Indonesia. Bentuk kepala yang cenderung besar dan ngganyot sama sekali tidak enak dipandang, apalagi dengan badannya yang kerempeng menjadi terkesan berat atas daripada bawah. Tak heran, cara jalan Jokowi seperti melayang-layang.
Dari analisis mulut, jidat dan kepala tadi dapat disimpulkan bahwa Jokowi adalah pria bermulut lebar, berjidat nonong dan berkepala ngganyot. Samber geledek… siapa berani memasukkan dalam kategori ganteng?
Sekarang saatnya berpikir serius. Trus kenapa Jokowi begitu populer, digandrungi di mana-mana? Digadang-gadang banyak orang sebagai seorang calon presiden RI 2014. Kenapa pollingnya selalu mengalahkan wajah-wajah lama yang relatif ganteng dan cantik? Jawabnya adalah karena MUAK. Ya, masyarakat di Indonesia sudah muak dengan pemimpin yang ganteng tetapi serba penuh pencitraan (kamuflase). Muak dengan pemimpin yang korup, atau membiarkan korupsi merajalela.
Pemimpin yang gamang, ragu-ragu dan tidak konsisten. Kini masyarakat begitu mendambakan pemimpin yang sederhana (baca: lugu), tanpa basa-basi, tanpa kompromi dan penuh percaya diri. Dan impian banyak orang itu ngejawantah pada diri seorang Jokowi. Ya, pria jelek bermulut lebar, berjidat nonong, dan berkepala ngganyot itu begitu mempesona masyarakat Indonesia. Tanpa mendahului kehendak Yang Di Atas, rasanya sulit membendung Jokowi menuju RI 1. Kita tunggu!