Kamis, 30 Mei 2013

Peran Lab Komputer Menyongsong Kurikulum 'TI' 2013





Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  berencana menerapkan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2013/2014 Juli mendatang. Seperti yang sudah ramai diperbincangkan salah satu hal baru Kurikulum 2013 adalah pengintegrasian Teknologi Informasi (TI) dalam semua mata pelajaran, sehingga dalam pembelajaran semua mata pelajaran harus berbasis TI. Bisa dikatakan dalam kurikulum 2013 dapat dikatakan sebagai kurikulum 'TI'
Penerapan TI dalam pembelajaran di kelas, ‘mau tidak mau’ atau ‘suka tidak suka’ harus ‘memaksa’ guru untuk melek TI jika menginginkan pembelajaran di kelas berhasil sesuai tuntutan kurikulum. Penyiapan SDM Guru dalam hal penguasaan IT menjadi hal yang sangat urgen mengingat pentingnya peran guru dalam pembelajaran dan ‘mendesak’ mengingat penerapan kurikulum 2013 yang sudah di depan mata.
Mengingat pengintegrasian TI dalam semua mata pelajaran menjadi ‘menu’ wajib dalam Kurikulum 2013, tidak menutup kemungkinan semua guru mata pelajaran akan memanfaatkan laboratorium komputer sebagai sarana dan media dalam pembelajaran yang diampunya. Dengan kata lain laboratorium akan semakin ‘sibuk’ dengan jadwal yang padat digunakan oleh semua guru mata pelajaran.
Dibalik 'keruwetan' yang mungkin akan terjadi, tetap ada sisi positif yang dapat kita ambil. Kini, dalam hal pemenuhan beban mengajar guru sebanyak minimal 24 jam sebagai mana ketentuan yang berlaku saat ini masih menjadi ‘syarat’ keluarnya Tunjangan Profesional Pendidik (TPP), sebagian guru masih belum tercukupi. Kompetensi Pengelolaan Laboratorium diharapkan dapat menjadi tugas tambahan guru sehingga dapat mencukupi syarat beban mengajar guru sebanyak 24 jam. Penulis sudah mencoba memasukan tugas tambahan kepala laboratorium komputer melalui Sistem Dapodik dan berhasil diterima sistem senilai 12 jam, sehingga data guru valid dan SK TPP keluar (guru_ndeso_ngawi).


Kesendirian Seorang Guru



Seringkali kita dihebohkan oleh berita-berita kekerasan guru kepada muridnya. Guru memukul, menendang, menggampar atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya kepada muridnya karena melanggar tata tertib, membolos, atau mengompas murid lainnya. Dari kaca mata edukasi tindakan guru yang menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugas edukasinya jelas suatu 'kesalahan'. Apapun dalihnya kekerasan bukan bagian dari proses pengajaran, kekerasan bukan roh dari pendidikan, sehingga guru yang melakukannya layak dipersalahkan. Sesederhana itukah permasalahannya?
Jelas tidak. Ketika suatu kasus kekerasan dalam dunia pendidikan mencuat, apalagi di blow up media masa yang masif, terus menerus, posisi guru seolah-olah mejadi 'terdakwa'. Hampir semua masyarakat menyalahkan guru sebagai satu-satunya penyebab kekerasan tersebut. Adilkah? Coba sekarang kita kalkulasi secara sederhana. Dalam 24 jam, hanya 6 – 8 jam siswa berada di lingkungan sekolah, selebihnya dia berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Apakah guru mengetahui apa yang terjadi pada diri siswa di luar sana? Bagaimana pola hidup siswa di lingkungan keluarga? Bagaimana lingkungan masyarakat yang mereka tinggali? Bukankah karakteristik siswa banyak dibentuk oleh lingkungan di luar sekolah. Permasalahannya, bukankah sekarang ini sajian kekerasan dan kekonyolan menjadi menu harian bagi anak didik kita? TV yang menjadi santapan harian anak sekarang, disantap sejak bangun tidur hingga tidur lagi, menyuguhkan menu-menu yang sama sekali tidak mendidik, mulai dari berita kekerasan, film kekerasan, sinetron yang hanya menyuguhkan begajulan, cengengesan, berita pembesar negeri yang tiap hari hanya berolok-olok di media masa, berita 'tokoh-tokoh' besar ditangkapi sebagai tersangka korupsi, penyuapan dan sebagainya. Pendek kata anak didik kita saat ini sulit menemukan keteladanan, baik di lingkungan keluarga, dimasyarakat tempat ia tinggal maupun tokoh-tokoh di negeri ini. Jadi justru embrio kekerasan sudah tertanam dalam diri anak ditambah dengan gejolak jiwa anak-anak. Tanpa berpretensi membela diri layakkah guru dipersalahkan seorang diri? Bukankah kesalahan ini adalah kesalahan berjamaah....? Mari kita saling berinterpretasi...! (guru_ngeso_ngawi)