Kamis, 20 Juni 2013

Evaluasi Pembelajaran Beserta Contoh Analisis Butir Soal


Contoh Analisis Butir Soal (DOWNLOAD DI SINI)  


Hakekat Evaluasi Pembelajaran

Penilaian atau evaluasi merupakan bagian integral dalam keseluruhan proses belajar mengajar. Penilaian harus dipandang sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan proses dan hasil pembelajaran, bukan hanya sebagai cara untuk menilai keberhasilan belajar siswa. Evaluasi tidak cukup lagi hanya menagih daya ingat tetapi harus juga menggali bagaimana siswa berproses dalam kegiatan belalajar-mengajar di kelas

Sebagai subsistem dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan penilaian harus mampu memberikan informasi yang membantu guru meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu siswa mencapai perkembangan pendidikan secara optimal. Hal ini membawa implikasi bahwa kegiatan penilaian harus dipandang dan digunakan sebagai cara atau teknik pendidikan, bukan hanya sebagai cara untuk menilai keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran.

Prinsip penilaian yang baik akan mendorong sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sistem penilaian yang digunakan di setiap lembaga pendidikan harus mampu memberikan informasi yang akurat, mendorong peserta didik belajar, memotivasi tenaga pendidik mengajar, meningkatkan kinerja lembaga dan meningkatkan kualitas pendidikan, sebagaimana dikemukakan oleh Linn & Gronlund (2000) bahwa pengukuran dan penilaian mempunyai peranan yang sangat penting dalam program pembelajaran di sekolah, menyediakan informasi yang dapat dipergunakan dalam berbagai macam keputusan pendidikan.

Evaluasi adalah salah satu tugas guru dalam melaksanakan pembelajaran. Dari evaluasi inilah seorang guru dapat mengukur kemajuan dan keberhasilan pembelajaran yang sudah dilakukan.  



Prinsip-prinsip Evaluasi Pembelajaran

Dalam melakukan evaluasi harus menganut pada prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut :          

1)    Validitas

Validitas adalah kesahihan, berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 194) kesahihan diterjemahkan pula sebagai kelayakan interpretasi terhadap hasil dari suatu instrumen evaluasi atau tes, dan tidak terhadap instrumen itu sendiri. Kesahihan juga dapat dikatakan lebih menekankan pada hasil/perolehan evaluasi, bukan pada kegiatan evaluasinya.

2)    Reliabilitas

Penilaian ini berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliabel, menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 196) merupakan syarat umum yang juga sama pentingnya dengan kesahihan adalah keterandalan evaluasi. Keterandalan evaluasi berhubungan dengan masalah kepercayaan, yakni tingkat kepercayaan bahwa suatu instrumen evaluasi mampu memberikan hasil yang tepat. Hal senada dapat kita peroleh dalam pernyataan Linn & Gronlund (2000 : 96) sebagai berikut : “reliability refers to the obtained with an evaluation instrument and not to the instrumens itselft.” (Reliabilitas menunjuk pada hasil sebuah instrumen evaluasi dan tidak untuk instrumen itu sendiri). Keterandalan menunjuk kepada konsistensi (keajegan) pengukuran yakni bagaimanakah keajegan skor tes atau hasil evaluasi lain yang berasal dari pengukuran yang satu ke pengukuran yang lain. Dengan kata lain, keterandalan dapat diartikan sebagai tingkat kepercayaan keajegan hasil evaluasi yang diperoleh dari suatu instrumen evaluasi. Keterandalan berhubungan dengan kesahihan, karena keterandalan menyediakan keajegan yang memungkinkan terjadinya kesahihan.

3)   Menyeluruh

Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh mencakup seluruh domain yang tertuang dalam setiap kompetensi dasar.

4)    Berkesinambungan

Penilaian dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran pencapaian kompetensi peserta didik dalam kurun waktu tertentu.

5)   Obyektif

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 198) obyektivitas suatu tes menunjukkan kepada tingkat skor kemampuan yang sama (yang dimiliki oleh siswa satu dengan siswa yang lain) memperoleh nilai yang sama dalam mengerjakan tes. Hal ini memberikan pengertian bahwa penilaian yang dilaksanakan secara obyektif berari penilaian harus adil, terencana dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian skor.

6)   Kepraktisan

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 : 198) menyatakan bahwa dalam memilih tes dan instrumen evaluasi yang lain, kepraktisan merupakan syarat yang tidak dapat diabaikan. Kepraktisan evaluasi terutama dipertimbangkan pada saat memilih tes atau instrumen lain yang dipublikasikan oleh suatu lembaga. Kepraktisan evaluasi dapat diartikan sebagai kemudahan yanga ada pada instrumen evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi/ memperoleh hasil, maupun kemudahan dalam menyimpannya.


Rabu, 19 Juni 2013

Buku Sekolah Elektronik (BSE) untuk SD Kelas I



KELAS
MATA PELAJARAN / JUDUL
PENGARANG

I
Bahasa Indonesia
H Suyatno
Ismail Kusmayadi
Muhammad Jaruki
Umri Nuraini
IPA
Heri Sulistyanto
S Rositawaty
Download
Sholehudin
Sri Purwati
IPS
Endang Hendayani
Indrastuti
Inoki Wasis Jatmiko
Matematika
Djaelani
Kismiantini
Purnomo Sidi
PKN
Setiati W
Suliasih
Tijan

Selasa, 04 Juni 2013

Teori Flexibilty Cognitive dalam Pembelajaran



Salah satu permasalahan yang sering dialami seorang guru yang mengajar pada kelas tingkat lanjut adalah ketidakseragaman dasar pengetahuan yang dimiliki siswanya. Pada saat proses pembelajaran, seringkali guru merasakan ada sebagian siswa yang masih sangat kurang pada materi-materi tertentu sedangkan sebagian siswa lainnya sudah sangat menguasai materi tersebut.

Sebagai jalan tengah, banyak guru yang sedikit mengulang materi-materi yang dianggap penting tapi kurang dikuasai oleh sebagian siswa tersebut. Masalah ini juga sering dijumpai dalam buku-buku teks, modul, atau bahan ajar lainnya. Bagi siswa yang sudah menguasai materi tersebut, pengulangan ini dirasakan membosankan dan membuang waktu saja. Tetapi bagi mereka yang masih belum memahami materi, pengulangan seperti ini sering kali dirasakan masih sangat kurang.

Di sisi lain, terdapat beberapa materi pelajaran yang kompleks dan tidak terstruktur dengan baik. Apabila guru menyampaikan materi tersebut secara linier/konstan (dari awal sampai akhir berurutan) dan guru menganggap kemampuan yang dimiliki oleh siswa adalah sama maka akan terjadi ketimpangan dalam penyerapan dan pemahaman materi. Siswa dengan tingkat pengetahuan awal yang tinggi akan merasakan bahwa materi yang disajikan berkesan mudah. Sebaliknya bagi siswa yang tingkat pengetahuan awalnya rendah merasakan sajian materi terasa berat dan sulit dipahami.

 

Berkaitan dengan pembelajaran dengan materi yang kompleks dan tidak terstruktur dengan baik tersebut, Spiro, Jacobsan dan Feltovitch dalam teori  Cognitive Flexibility-nya, menyatakan :

“Cognitive flexibility theory focuses on the nature of learning in complex and ill-structured domains… By cognitive flexibility, we mean the ability to spontaneously restructure one's knowledge, in many ways, in adaptive response to radically changing situational demands..”
(Teori Fleksibilitas Kognitif difokuskan pada pembelajaran yang berdomain kompleks dan tidak terstruktur dengan baik. Dengan fleksibilitas kognitif,  berarti kemampuan untuk menyusun secara spontan suatu pengetahuan, dalam banyak cara, dalam memberi respon penyesuaikan diri untuk secara radikal merubah tuntutan situasional) (http://www.phoenix.sce.fct.unl.pt/simposio).

Pembelajaran yang bersifat linier dalam bentuk tutorial, perkuliahan, dan bentuk-bentuk lainnya akan gagal mencapai tujuan utama dari pendidikan karena terlalu menyederhanakan bentuk penyajian materi. Penyederhanaan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan transfer pengetahuan dalam domain yang baru dan bervariasi.

Salah satu tujuan dari program pendidikan, terutama pendidikan profesional, adalah membantu siswa untuk mentransfer apa yang mereka pelajari ke dalam situasi yang berbeda, dan terkadang unik. Kemampuan ini sering disebut sebagai Cognitive Flexibility  atau Fleksibilitas Kognitif.

Tinjauan agak berbeda dikemukakan oleh Canas (2004) sebagai berikut :
“Cognitive flexibility is the human ability to adapt the cognitive processing strategies to face new and unexpected conditions in the environment. Cognitive Flexibility is an ability which could imply a process of learning, that is, it could be acquired with experience. Cognitive Flexibility involves the adaptation of cognitive processing strategies. A strategy, in the context of this definition, is a sequence of operations which search through a problem space. Therefore, refers to changes in complex behaviors.”

(Cognitive flexibility adalah kemampuan seseorang untuk membiasakan strategi proses pengetahuan ke hal baru dan kondisi yang tak diharapkan di lingkungan. Cognitive Flexibility adalah sebuah kemampuan yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung proses pembelajaran, ini diperoleh dengan pengalaman. Cognitive Flexibility meliputi proses adaptasi dari proses kognisi. Sebuah strategi dalam konteks definisi ini, adalah sebuah rangkaian operasi pencarian masalah. Karena itu, cognitife flexibilty menunjukkan perubahan perilaku yang kompleks).

Dalam fleksibilitas kognitif ini termasuk kemampuan untuk menghadirkan kembali pengetahuan dari perspektif kasus dan konsep yang berbeda, dan pada saat diperlukan dapat mengkonstruksikan konsep dan kasus tersebut untuk memahami suatu hal atau memecahkan suatu masalah.
Menurut teori fleksibilitas kognitif, cara siswa berpikir sangat dipengaruhi oleh tipe struktur kognitif siswa sendiri pada saat mereka mempelajari, menyimpan serta membentuk struktur pengetahuan mereka. Hal ini sangat relevan dengan teori konstruktivisme. Fleksibilitas Kognitif membutuhkan lingkungan pembelajaran yang fleksibel. Informasi harus bisa disajikan dalam berbagai cara, dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan.

Pada bagian lain dalam web site-nya Spiro, Jacobson dan Feltovich, menyatakan :
“The objectives of learning tend to differ for introductory and more advanced learning. When first introducing a subject, teachers are often satisfied if students can demonstrate a superficial awareness of key concepts and facts, as indicated by memory tests that require the student only to reproduce what was taught in roughly the way that it was taught. Thus, in introductory learning, ill-structuredness is not a serious problem. Learners are not expected to master complexity or independently transfer their acquired knowledge to new situations. These latter two goals (mastery of complexity and transfer) become prominent only later, when students reach increasingly more advanced treatments of the same subject matter. It is then, when conceptual mastery and flexible knowledge application become paramount goals, that the complexity and across-case diversity characteristic of ill-structured domains becomes a serious problem for learning and instruction.”

(Sasaran dari pembelajaran berbeda untuk pembelajaran tingkat awal dan pembelajaran lanjut. Pada pembelajaran tingkat awal, guru sering puas jika muridnya dapat menunjukkan konsep yang dangkal, seperti yang ditunjukkan oleh hasil tes yang diwajibkan kepada siswa hanya untuk mengingat kembali apa yang telah diajarkan secara garis besar. Jika materi yang disajikan adalah materi yang terstruktur dengan baik, atau materi pelajaran yang sederhana, maka hal ini tidak menjadi permasalahan. Tapi jika domain dari pengetahuan tersebut adalah domain yang tidak terstruktur dengan baik, atau mengandung materi yang kompleks, maka pembelajaran yang sifatnya linier tersebut menjadi tidak efektif). 

Metode instruksional yang fleksibel adalah metode yang dapat membantu siswa untuk mempelajari kontur dan kompleksitas material yang dipelajari. Selain itu juga harus mampu membantu siswa untuk bekerja dengan menggabungkan konten dari beberapa perspektif yang berbeda.

Komputer, dengan dukungan material yang tepat, adalah satu perangkat yang sangat sesuai dengan sistem instruksional yang fleksibel. Komputer dapat mendukung kebutuhan yang berbeda dalam menyajikan domain yang tidak terstruktur dan membantu siswa untuk mendalami lebih dari satu perspektif topik atau issue. Misalnya, sistem hypertext yang mendukung nonlinieritas, media multi dimensi yang dapat menyajikan permasalahan kompleks yang tidak dapat tersaji dalam sistem tradisional. Walaupun, tetap untuk diingat bahwa sistem tradisional tetap baik dan berhasil untuk domain ilmu pengetahuan yang terstruktur dengan baik atau permasalahan yang sederhana. Tetapi jika informasi tidak sederhana serta tidak terstruktur dengan baik, dukungan komputer dan format media hypertext akan sangat membantu dalam pendekatan instruksional yang fleksibel. Hal ini memungkinkan pebelajar untuk mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.

Spiro mencontohkan pembelajaran dan pelatihan yang berkaitan dengan materi yang kompleks, tidak terstruktur, yang harus diperlakukan secara berbeda dengan domain pengetahuan yang relatif sederhana. Spiro mencontohkan domain yang tidak terstruktur dengan baik misalnya: sejarah, pengobatan, hukum, interpretasi literatur, serta pendidikan guru dan sebagainya. Pendekatan pembelajaran untuk tingkat pemula akan menjadi tidak efektif jika diterapkan untuk transfer pengetahuan tingkat yang lebih tinggi (higher level transfer skill). Pada saat orang pertama kali mempelajari sesuatu, maka dia akan memisahkan dan mengkategorikan pengetahuannya ke dalam slot-slot tertentu. Tetapi pada saat mulai belajar lebih lanjut dan mulai menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah, maka pembelajaran harus memiliki fokus pada  presentasi informasi yang beragam. Materi bisa saja dicakup beberapa kali untuk kebutuhan yang berbeda. (http://tip.psychology.org/spiro.html)

Dari uraian tadi jelas bahwa untuk pengetahuan dengan domain yang terstruktur dengan baik, pendekatan pembelajaran behavioris dapat bekerja dengan baik. Dengan kata lain, domain sederhana atau terstruktur bisa diajarkan dengan menggunakan metode linier yang tradisional. Tetapi jika domain tidak terstruktur dengan baik atau kompleks, maka teori fleksibilitas kognitif akan lebih efektif.

Berkaitan dengan penerapan teori ini, di bagian lain dalam website-nya Spiro menyatakan:
“Cognitive flexibility theory is especially formulated to support the use of interactive technology (e.g., videodisc, hypertext). Its primary applications have been literary comprehension, history, biology and medicine.”
(Teori Fleksibilitas Kognitif diformulasikan terutama untuk mendukung penggunaan teknologi interaktif (antara lain videodisc, hypertext). Utamanya diaplikasikan pada pemahaman kesustraan, sejarah, biologi dan  ilmu kedokteran) (http://tip.psychology.org/spiro.html)

Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Fleksibilitas Kognitif pada dasarnya mendukung semua asumsi dasar dari paham konstruktivisme. Hypertext yang menjadi alatnya atau media untuk mengaplikasikan teori ini, bisa memberikan pengalaman realistik yang berbeda dan otentik kepada setiap individu.

Referensi :
Canas, Jose J. 2004. “The Flexibility Cognitive”. http://www.ugr.es/~ergocogn/ articulos/cognitive_flexibility1.pdf.  Diambil pada 16 Pebruari 2009.

Spiro, Rand J.,  Michael J. Jacobson, dan Paul J. Feltovich. 2003. “Cognitive Flexibility, Constructivism, and Hypertext: Random Access Instruction for Advanced Knowledge Acquisition in Ill-Structured Domains”, (http://phoenix.sce.fct.unl. pt/simposio).  Diambil pada Mei 2008.

Spiro, Rand J. 2003. “Cognitive Flexibility Theory”. (http://tip.psychology.org /spiro.html). Diambil pada Mei 2008.