Salah satu permasalahan
yang sering dialami seorang guru yang mengajar pada kelas tingkat lanjut adalah
ketidakseragaman dasar pengetahuan yang dimiliki siswanya. Pada saat proses
pembelajaran, seringkali guru merasakan ada sebagian siswa yang masih sangat
kurang pada materi-materi tertentu sedangkan sebagian siswa lainnya sudah
sangat menguasai materi tersebut.
Sebagai jalan tengah, banyak guru
yang sedikit mengulang materi-materi yang dianggap penting tapi kurang dikuasai
oleh sebagian siswa tersebut. Masalah ini juga sering dijumpai dalam buku-buku
teks, modul, atau bahan ajar lainnya. Bagi siswa yang sudah menguasai materi
tersebut, pengulangan ini dirasakan membosankan dan membuang waktu saja. Tetapi
bagi mereka yang masih belum memahami materi, pengulangan seperti ini sering
kali dirasakan masih sangat kurang.
Di sisi lain, terdapat beberapa materi pelajaran yang
kompleks dan tidak terstruktur dengan baik. Apabila guru menyampaikan materi
tersebut secara linier/konstan (dari awal sampai akhir berurutan) dan guru menganggap
kemampuan yang dimiliki oleh siswa adalah sama maka akan terjadi ketimpangan
dalam penyerapan dan pemahaman materi. Siswa dengan tingkat pengetahuan awal
yang tinggi akan merasakan bahwa materi yang disajikan berkesan mudah.
Sebaliknya bagi siswa yang tingkat pengetahuan awalnya rendah merasakan sajian
materi terasa berat dan sulit dipahami.
Berkaitan
dengan pembelajaran dengan materi yang kompleks dan tidak terstruktur dengan
baik tersebut, Spiro, Jacobsan dan Feltovitch dalam teori Cognitive
Flexibility-nya, menyatakan :
“Cognitive
flexibility theory focuses on the nature of learning in complex and
ill-structured domains… By cognitive flexibility, we mean the ability to
spontaneously restructure one's knowledge, in many ways, in adaptive response
to radically changing situational demands..”
(Teori Fleksibilitas
Kognitif difokuskan pada pembelajaran yang berdomain kompleks dan tidak
terstruktur dengan baik. Dengan fleksibilitas kognitif, berarti kemampuan untuk menyusun secara
spontan suatu pengetahuan, dalam banyak cara, dalam memberi respon penyesuaikan
diri untuk secara radikal merubah tuntutan situasional) (http://www.phoenix.sce.fct.unl.pt/simposio).
Pembelajaran yang bersifat linier dalam bentuk
tutorial, perkuliahan, dan bentuk-bentuk lainnya akan gagal mencapai tujuan
utama dari pendidikan karena terlalu menyederhanakan bentuk penyajian materi.
Penyederhanaan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan transfer
pengetahuan dalam domain yang baru dan bervariasi.
Salah satu tujuan dari program pendidikan, terutama
pendidikan profesional, adalah membantu siswa untuk mentransfer apa yang mereka
pelajari ke dalam situasi yang berbeda, dan terkadang unik. Kemampuan ini
sering disebut sebagai Cognitive
Flexibility atau Fleksibilitas
Kognitif.
Tinjauan agak
berbeda dikemukakan oleh Canas (2004) sebagai berikut :
“Cognitive flexibility is
the human ability to adapt the cognitive processing strategies to face new and
unexpected conditions in the environment. Cognitive Flexibility is an ability
which could imply a process of learning, that is, it could be acquired with
experience. Cognitive Flexibility involves the adaptation of cognitive
processing strategies. A strategy, in the context of this definition, is a
sequence of operations which search through a problem space. Therefore, refers
to changes in complex behaviors.”
(Cognitive flexibility
adalah kemampuan seseorang untuk membiasakan strategi proses pengetahuan ke hal
baru dan kondisi yang tak diharapkan di lingkungan. Cognitive Flexibility adalah sebuah kemampuan yang dapat
mempengaruhi secara tidak langsung proses pembelajaran, ini diperoleh dengan
pengalaman. Cognitive Flexibility meliputi
proses adaptasi dari proses kognisi. Sebuah strategi dalam konteks definisi
ini, adalah sebuah rangkaian operasi pencarian masalah. Karena itu, cognitife flexibilty menunjukkan
perubahan perilaku yang kompleks).
Dalam fleksibilitas kognitif ini termasuk kemampuan
untuk menghadirkan kembali pengetahuan dari perspektif kasus dan konsep yang
berbeda, dan pada saat diperlukan dapat mengkonstruksikan konsep dan kasus
tersebut untuk memahami suatu hal atau memecahkan suatu masalah.
Menurut teori fleksibilitas kognitif, cara siswa
berpikir sangat dipengaruhi oleh tipe struktur kognitif siswa sendiri pada saat
mereka mempelajari, menyimpan serta membentuk struktur pengetahuan mereka. Hal
ini sangat relevan dengan teori konstruktivisme. Fleksibilitas Kognitif
membutuhkan lingkungan pembelajaran yang fleksibel. Informasi harus bisa
disajikan dalam berbagai cara, dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan.
Pada bagian lain dalam web site-nya Spiro, Jacobson dan Feltovich, menyatakan :
“The objectives of
learning tend to differ for introductory and more advanced learning. When first
introducing a subject, teachers are often satisfied if students can demonstrate
a superficial awareness of key concepts and facts, as indicated by memory tests
that require the student only to reproduce what was taught in roughly the way
that it was taught. Thus, in introductory learning, ill-structuredness is not a
serious problem. Learners are not expected to master complexity or
independently transfer their acquired knowledge to new situations. These latter
two goals (mastery of complexity and transfer) become prominent only later,
when students reach increasingly more advanced treatments of the same subject
matter. It is then, when conceptual mastery and flexible knowledge application
become paramount goals, that the complexity and across-case diversity
characteristic of ill-structured domains becomes a serious problem for learning
and instruction.”
(Sasaran dari pembelajaran berbeda untuk pembelajaran
tingkat awal dan pembelajaran lanjut. Pada pembelajaran tingkat awal, guru
sering puas jika muridnya dapat menunjukkan konsep yang dangkal, seperti yang
ditunjukkan oleh hasil tes yang diwajibkan kepada siswa hanya untuk mengingat
kembali apa yang telah diajarkan secara garis besar. Jika materi yang disajikan
adalah materi yang terstruktur dengan baik, atau materi pelajaran yang sederhana,
maka hal ini tidak menjadi permasalahan. Tapi jika domain dari pengetahuan
tersebut adalah domain yang tidak terstruktur dengan baik, atau mengandung
materi yang kompleks, maka pembelajaran yang sifatnya linier tersebut menjadi
tidak efektif).
Metode instruksional yang fleksibel adalah metode yang
dapat membantu siswa untuk mempelajari kontur dan kompleksitas material yang
dipelajari. Selain itu juga harus mampu membantu siswa untuk bekerja dengan
menggabungkan konten dari beberapa perspektif yang berbeda.
Komputer, dengan dukungan material yang tepat, adalah
satu perangkat yang sangat sesuai dengan sistem instruksional yang fleksibel.
Komputer dapat mendukung kebutuhan yang berbeda dalam menyajikan domain yang
tidak terstruktur dan membantu siswa untuk mendalami lebih dari satu perspektif
topik atau issue. Misalnya, sistem hypertext yang mendukung nonlinieritas,
media multi dimensi yang dapat menyajikan permasalahan kompleks yang tidak
dapat tersaji dalam sistem tradisional. Walaupun, tetap untuk diingat bahwa
sistem tradisional tetap baik dan berhasil untuk domain ilmu pengetahuan yang
terstruktur dengan baik atau permasalahan yang sederhana. Tetapi jika informasi
tidak sederhana serta tidak terstruktur dengan baik, dukungan komputer dan format
media hypertext akan sangat membantu
dalam pendekatan instruksional yang fleksibel. Hal ini memungkinkan pebelajar
untuk mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.
Spiro mencontohkan pembelajaran dan pelatihan yang
berkaitan dengan materi yang kompleks, tidak terstruktur, yang harus
diperlakukan secara berbeda dengan domain pengetahuan yang relatif sederhana.
Spiro mencontohkan domain yang tidak terstruktur dengan baik misalnya: sejarah,
pengobatan, hukum, interpretasi literatur, serta pendidikan guru dan
sebagainya. Pendekatan pembelajaran untuk tingkat pemula akan menjadi tidak
efektif jika diterapkan untuk transfer pengetahuan tingkat yang lebih tinggi (higher level transfer skill). Pada saat
orang pertama kali mempelajari sesuatu, maka dia akan memisahkan dan
mengkategorikan pengetahuannya ke dalam slot-slot tertentu. Tetapi pada saat
mulai belajar lebih lanjut dan mulai menggunakan pengetahuannya untuk
memecahkan masalah, maka pembelajaran harus memiliki fokus pada presentasi informasi yang beragam. Materi
bisa saja dicakup beberapa kali untuk kebutuhan yang berbeda. (http://tip.psychology.org/spiro.html)
Dari uraian tadi jelas bahwa untuk pengetahuan dengan
domain yang terstruktur dengan baik, pendekatan pembelajaran behavioris dapat
bekerja dengan baik. Dengan kata lain, domain sederhana atau terstruktur bisa
diajarkan dengan menggunakan metode linier yang tradisional. Tetapi jika domain
tidak terstruktur dengan baik atau kompleks, maka teori fleksibilitas kognitif
akan lebih efektif.
Berkaitan dengan
penerapan teori ini, di bagian lain dalam website-nya
Spiro menyatakan:
“Cognitive
flexibility theory is especially formulated to support the use of interactive
technology (e.g., videodisc, hypertext). Its primary applications have been
literary comprehension, history, biology and medicine.”
(Teori Fleksibilitas Kognitif diformulasikan terutama
untuk mendukung penggunaan teknologi interaktif (antara lain videodisc, hypertext). Utamanya diaplikasikan pada pemahaman kesustraan,
sejarah, biologi dan ilmu kedokteran) (http://tip.psychology.org/spiro.html)
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Fleksibilitas
Kognitif pada dasarnya mendukung semua asumsi dasar dari paham konstruktivisme.
Hypertext yang menjadi alatnya atau
media untuk mengaplikasikan teori ini, bisa memberikan pengalaman realistik
yang berbeda dan otentik kepada setiap individu.
Referensi :