Jumat, 30 Agustus 2013

Pengalaman Seorang Guru TIK Menjadi Guru Prakarya, Sebuah Catatan.



Hari ini Jumat, 30 Agustus 2013. Inilah untuk pertama kalinya saya akan mengajar mata pelajaran Prakarya. Saya sendiri selama ini berdedikasi sebagai seorang guru TIK. Berlatar belakang pendidikan Magister Teknologi Pendidikan, saya bersertifikat pendidik TIK. Sudah hampir 8 tahun saya menjadi guru TIK. Selang satu tahun setelah sertifikat pendidkan TIK aku pegang, munculah prahara kurikulum 2013 yang menghapus mapel TIK. Sempat menikmati manisnya TPP, kini saya dihadapkan pada ketidakjelasan masa depan sebagai seorang guru TIK.
Hasil browsing dan sharing  kesana kemari di dunia maya, munculah salah satu wacana bahwa guru TIK akan mengampu Prakarya di K-2013. Untuk sesaat, rasanya jantung ini berhenti berdenyut, darah ini seperti membeku. Pada awalnya sulit sekali wacana itu saya terima. Di pemikiran saya banyak hal yang tidak nyambung jika seorang guru TIK harus mengampu Prakarya. Dari sisi keilmuan, filosofis mapel TIK jelas berbeda dengan Prakarya, kontennya jelas 180 derajat berbeda. Secara formal, jelas latar belakang pendidikan saya juga tidak match dengan Prakarya. Pragmatisnya sertifikat pendidik TIK yang saya miliki, jelas tidak linear dengan prakarya. Mengingat dalam aplikasi dapodik, ketidak-linearan sertifikat pendidik dan mapel yang diampu, menjadi handicap untuk keluarnya SKTP yang menjadi dasar cairnya TPP. Berarti tunjangan yang saya terima sebesar dua juta tujuh ratus dipotong pajak sebulan itu terancam mandek.
Pikiran terus berkecamuk, membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya menjagi guru Prakarya. Salah satu ketakutan saya adalah bisakah saya profesional? Hari-hari terus saya diskusikan dengan keluarga. Istri saya yang juga seorang guru selalu sangat peduli dengan masalah yang saya hadapi, dia banyak sekali memberi masukan-masukan, yang melegakan saya.  Saran-saran yang khas seorang perempuan, kombinasi antara ketelitian dan kehati-hatian. Sikap seperti itulah yang tidak saya miliki, juga tidak dimiliki sebagian besar yang terlahir sebagai lelaki.  Yang sulit saya lupakan adalah kedua anak saya, selalu mengikuti tema ini dalam diskusi-diskusi keluarga. Seolah-olah mereka ikut merasakan kegundahan hati saya. Saat itu saya benar-benar merasakan, mereka, istri dan anak-anak saya sangat peduli dengan saya. Walau kadang setengah berolok-olok, anak ke-2 saya Luluh, yang masih duduk di kelas 3 SD sering mengejek saya dari seorang guru TIK yang jos gandhos, menjadi guru Prakarya yang cemen temen. Saya tidak tahu darimana istilah ini dia peroleh. Dari suasana inilah akhirnya dengan berat hari saya bersiap diri, bismillah apapun yang akan terjadi maka terjadilah, termasuk seandainya harus menjadi guru Prakarya. Kenyataan itu akhirnya datang juga, tahun ini saya mendapat tugas mengajar Prakarya di samping TIK untuk kelas tiga.
Jadwal pelajaran di sekolahku yang terpampang di dinding belakang ruang guru, sejak kemarin saya pelototi satu-persatu. Saya cari-cari dimanakah saya mengajar Prakarya. Akhirnya kutemukan saya harus mengampu 4 jam pelajaran Prakarya di kelas VII.G dan VII.H. Sehari sebelumnya hari itu tiba, saya sempatkan buka-buka file Silabus Prakarya dan Buku Prakarya. Dari membaca buku sekilas ini, ada tiga hal yang saya garis bawahi. Pertama mapel prakarya mengajarkan 4 kompetensi yaitu: kerajinan, ketrampilan, pengolahan dan rekayasa. Sedangkan yang kedua adalah siswa harus menghasilkan produk, dan ketiga adalah penilaian karya siswa tidak hanya didasarkan pada produk jadi yang dihasilkan, tetapi juga proses bagaimana siswa memproduksinya.
Pukul 7.40 bel pergantian jam berbunyi, sesaat setelah itu kulangkahkan kakiku keluar ruang guru menuju kelas VII.H yang berada di pojok tenggara sekolah. Tidak lupa aku bawa spidol, buku Prakarya dan laptop putih kesayanganku. Setelah perkenalan dengan anak-anak, pelajaran aku mulai dengan pemaparan konsep awal mata pelajaran baru ini. Tidak lupa aku ceritakan juga ke anak-anak bahwa ini adalah untuk pertama kali saya mengajar Prakarya, setelah 8 tahun menjadi guru TIK. Tentu saja tanpa bermaksud cengeng di depan anak-anak. Seorang guru adalah guru, harus bisa menjalani peran apa saja yang diembannya.  Kecamuk dalam hati, perang batin yang terjadi tak boleh sedikitpun tertangkap oleh anak-anak kita. Itulah jati diri seorang guru.
Setelah aku paparkan konsep prakarya kelihatannya mereka paham, apa dan bagaimana prakarya itu. Kesimpulan itu aku peroleh setelah menyaksikan wajah-wajah lugu dengan semangat dan antusias mengikuti pelajaran. Melihat mereka, rasanya tidak tega kalau aku tidak memberikan kejutan kepada mereka. Pada kesempatan itu saya janjikan kepada mereka, akan saya buatkan ruang pamer atau ruang pajang bagi karya-karya mereka. Tidak lupa saya janjikan reward bagi karya terbaik. Dan yang membuat mereka heran  adalah ketika saya cerita bahwa untuk membuatkan ruang pajang, saya tidak memerlukan almari, etalase, rak atau sejenisnya. Kulihat wajah mereka pada mlongo penasaran dengan yang saya ucapkan. Belum habis keterkejutan mereka, saya sambung cerita tadi bahwa saya hanya membutuhkan satu kamera, bisa memakai handphone. Perkataan saya membuat mereka semakin bingung.
Barulah mereka sadar setelah saya cerita bahwa untuk memajang karya-karyanya akan saya buatkan satu blog di internet, yang akan memajang foto-foto karya mereka. Dasar guru TIK, eh Prakarya. Semoga ini bukan kejutan yang terakhir. Ini adalah kejutan pertama dan akan disusul oleh kejutan-kejutan yang lain. Dalam hatiku berkata, ya Allah kuatkan hatiku untuk menjadi guru Prakarya, banyakkanlah ide-ide segarku untuk kebaikan mereka. Anak-anak berwajah polos, berhati bersih yang haus akan ilmu. Semoga..! (mr.poor12)