Sering
terjadi, kita dihebohkan dengan berita kekerasan dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Pihak yang terlibat dalam hal ini bisa guru/dosen terhadap
murid/mahasiswa, sesama guru/dosen, sesama murid/mahasiswa atau
guru/murid/mahasiswa dengan kelompok masyarakat diluar sekolah. Bentuk-bentuk
kekerasan yang terjadi juga sangat beragam. Guru menendang, menempeleng
atau memukul muridnya. Perang sesama
murid antar kelas dalam satu sekolah atau lain sekolah. Penyerbuan mahasiswa
berbeda jurusan dalam satu kampus, atau lain kampus. Perang mahasiswa dengan
kelompok tukang ojek, pembajakan bus kota oleh sekelompok murid, dan bentuk
kekerasan pendidikan lainnya, rasanya menjadi menu harian dalam pemberitaan
media kita. Parahnya kejadian ini sudah
tidak lokalit dan parsial, namun sudah masif dan menasional.
Nah, pihak
yang biasanya mendapat porsi pemberitaan besar dalam kasus-kasus kekerasan
pendidikan adalah guru. Setiap ada kejadian kekerasan guru kepada muridnya
misalnya, maka seakan-akan semua tangan menuding guru sebagai ‘tersangka’. Ini
diperdalam analisa dan kritik pengamat pendidikan yang dengan ‘ilmunya’
ikut-ikutan menyudutkan guru. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) getol menyoroti,
hingga mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi yang terkadang diluar
kewenangannya. Dalam kaidah pendidikan, apapun bentuk kekerasan memang tidak
layak mendapat tempat, tidak bisa ditoleransi, dan kita tidak bisa bersikap
permisif. Kekerasan harus sirna dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Siswa
(juga guru) selain sebagai warga sekolah juga menjadi anggota warga masyarakat.
Artinya keduanya mempunyai dua identitas yang berbeda ketika berada di sekolah
dan berada di lingkungan masyarakat. Kehidupan di masyarakat luas dengan segala
‘carut-marutnya’ ikut ‘dihirup’ setiap waktu, sepanjang masa oleh siswa dan
guru, dan membawanya di lingkungan sekolah. Artinya warga sekolah sebenarnya
sudah membawa ‘gen’ masing-masing yang diperoleh dari lingkungannya. Dan parahnya
gen itu tidak semuanya adalah gen positif (baik). Bahkan bisa jadi dalam
lingkungan masyarakat tertentu gen negatif (jelek) lebih mendominasi.
Siapa yang
berperan dalam menyebarkan ‘gen negatif’ ini di dalam lingkungan masyarakat? Nah,
disinilah pihak di luar sekolah yang banyak mengambil bagian.
Pertama, media
massa. Terutama televisi, layak ‘berinstropeksi’. Bukankah berjibum acara-acara
televisi yang menyajikan kekerasan, ketidakjujuran, ketidaksopanan? Televisi
kita banyak didominasi acara-acara banal (baca: remeh-temeh), komedi yang
kebablasan, sinetron yang mengharu-biru tanpa bisa dicerna akal sehat, atau
sinetron sejarah yang dibuat-buat dan dipanjang-panjangkan. Lebih gila lagi,
begitu banyak acara maaf ‘gedibal’
ini dibuat dengan latar belakang dunia pendidikan. Lokasi syuting di sekolah,
para pemerannya pelajar, namun tindakannya tidak mencerminkan seorang pelajar
sama sekali, selain hanya rebutan pacar, hobi menyontek, menciderai lawan, memfitnah
dan lain-lain. Tontonan itu meresap di dalam ingatan anak-anak kita secara
perlahan-lahan, terus-menerus, masif dan
dalam jangka waktu yang lama, mengingat bagi sebagian besar anak kita televisi
adalah ‘tuhan’ yang lain. Inilah potensi ‘gen negatif’ yang dibawa anak ke
sekolah.
Kedua
orang tua. Sebagian besar waktu yang dimiliki anak-anak sekolah kita adalah
dirumah. Sudahkan para orang tua menciptakan ‘surga’ bagi anak-anaknya?,
sehingga anak merasa hidup dalam suasana kenyamanan batin yang dapat
menciptakan gen positif? Ataukah sebaliknya, para orang tua terlalu egois, cuek
sehingga anak-anak kita merasa di dalam neraka? Sudahkah orang tua memberikan
keteladanan? Ataukah justru mempertontonkan ‘sinetron tragedi’ di depan
anak-anak kita? Saatnya para orang tua berinstropeksi diri, jika tidak mau dikatakan
menjangkiti ‘gen negatif ‘ kepada anak-anak kita.
Ketiga
adalah masyarakat. Ditinjau dari sisi sejarah, rakyat Indonesia memang
‘ditakdirkan’ keras dari sononya.
Bukankah perebutan kekuasaan raja-raja terdahulu selalu dihiasi dengan
kekerasan, pertumpahan darah? Masih ingat kisah Ken Arok, yang hingga tujuh
turunan masih berbalas dendam? Bukankah hampir setiap pergantian kekuasaan di
negeri ini selalu ditumpahi darah rakyatnya? Bila kita tarik ke era kini, tidak
sedikit peristiwa (bila tidak mau dikatakan banyak) pilkada-pilkada di tanah
air selalu berakhir ricuh, saling serang antar pendukung. Skala yang lebih
kecil yang menunjuk hidung kita sebagai bangsa yang keras adalah banyaknya
pertandingan sepakbola yang berakhir ricuh, baik antar suporter, sesama pemain
atau pemain dengan pengadil. Rentetan
kejadian kekerasan itu, begitu mudah dan murah dinikmati anak-anak kita.
Anak-anak pasti akan ‘menerjemahkan’ rentetan kekerasan itu dalam bahasa
mereka, dan selanjutnya pasti akan ‘mengimplementasikan’ dalam bentuk lain.
Jadi,
sebenarnya embrio kekerasan ini sudah terpendam dalam diri warga sekolah
(termasuk guru) dalam stadium yang tinggi. Ini menjadi energi negatif
potensial, yang sewaktu-waktu meledak dengan hanya sedikit triger
(pemicu). Ini adalah masalah kita semua, bukan hanya masalah masyarakat
pendidikan. Lebih luasnya ini adalah penyakit masyarakat seluruh Indonesia.
Permasalahan menjadi nampak ‘menggunung’ lantaran masalah besar ini di bawa
dalam sebuah wadah kecil yang bernama masyarakat pendidikan (sekolah). Ibarat
akuarium, jelas akan nampak sangat kotor bila diisi air dan ikan dari kolam kotor
bukan? Air dan ikan dikolam saja sudah nampak kotor, apalagi ini dipajang
diakurium yang bening dan sempit.
Sudah
menjadi kebiasaan latah di masyarakat kita, apabila ada kekerasan dalam dunia
pendidikan maka akan segera ramai-ramai
menghujat guru, sebagai pihak yang patut ‘persalahkan’. Ini bisa dimaklumi,
gurulah pihak yang paling ‘tampak’. Di dalam aquarium pendidikan yang sempit
dan bening, guru mudah dicari, mudah
dilihat, dan tentu saja mudah dipersalahkan.
Terlepas
memang tugas utama guru adalah mengajar, mendidik dan memberikan teladan, namun
guru juga manusia. Bisa jadi guru juga ‘ikan dari kolam kotor’, atau berada
dalam lingkungan ‘ikan-ikan kotor dari sononya.
Tidak sepantasnya setiap ada kejadian kekerasan dalam dunia pendidikan gurulah
satu-satunya ‘tersangka’. Bukanlah ini semua adalah dosa jamaah kita? Orang
tua, media massa dan masyarakat sebenarnya ikut andil menyemai bibit-bibit
kekerasan ini? Tanpa berpretensi membela profesi guru, sudah selayaknya seluruh
elemen negeri ini berinstropeksi untuk selalu memperbaiki keadaan. Bukanlah
kalau air dan ikan dikolam bersih, ditaruh di aquarium pun akan tampak bening?
Sehingga judul tulisan ini menjadi Sekolah, ‘Aquarium Bening’ Masyarakat
Indonesia. Semoga!!